Monday, April 30, 2018

menjadi yang paling kecil di dunia perkuliahan.

Hello human beings,

Udah lama banget ya aku enggak nulis blog lagi? 

Well it's actually okay as no one even visits here anymore haha (trust me this is not a sarcasm)

Jadi selama berbulan-bulan lamanya aku menghabiskan that so-called summer vacation setelah dapat perguruan tinggi, aku belum ada ide buat nulis sesuatu yang baru di blog. Yet I'm writing a novel by now berharap suatu saat bakal selesai, tapi enggak akan ku publikasikan ke blog ini. Mungkin bakal di wattpad. Atau mungkin bakal disimpan aja dan nunggu waktu yang tepat untuk mempublikasikannya. Entahlah. 

Dan sebetulnya, di draft blog aku, aku udah nulis panjaaaaaaang banget dan bisa sampai 10 halaman lebih kalau dipindah ke word tentang perjuanganku dapat PTN, tapi setelah berpikir panjang dan dibaca ulang kayaknya bakal lebih baik kusimpan secara personal aja ceritanya, karena kalau dibaca kesannya bisa jadi lebay dan inti dari ceritaku itu juga enggak jauh-jauh amat dari cerita kebanyakan orang. Gagal snm dulu, berjuang mati-matian buat lolos lewat sbm, belajar dan ngambis tiap hari , nangis-nangis sampai kurang tidur dan akhirnya keterima juga. Sama aja kan, sama yang lain, atau cerita-cerita lainnya yang pernah kalian baca di media sosial? so I don't think my story would inspire a lot buat kamu yang bakal berjuang untuk tahun depan. Mau se-terinspirasinya kamu sama cerita seseorang kalau kamunya enggak mau berjuang ya sama aja bohong nanti. 

Anyways, tahun lalu aku dapat message lewat Instagram dari salah satu teman dekat aku yang sekarang adalah mahasiswa di Universitas Indonesia. Dia cerita sama aku bahwa dia sekarang sedang merasa inferior karena di kelasnya banyak yang ternyata lebih dari dia. Yang ngambis. Yang aktif di kelas. Yang aku pribadi kusebut Anak Masa Depan Cerah (btw istilah itu baru kepikiran saat aku nulis posting ini juga). Di kelasnya kerasa banget atmosfir kompetitifnya.

Memang pasti perasaan seperti kusebutkan di atas enggak jarang muncul di dalam diri maba. Enggak cuma teman dekatku ini yang bilang demikian, banyak teman se-prodi-ku yang cerita tentantg inti masalah yang sama. Teman-teman SMA-ku demikian. Even aku sendiri sedang merasakan hal yang sama. Merasa semua orang pintar and we're nothing. Padahal dulu waktu SMA bisa jadi beberapa di antara kita selalu jadi andalan guru dan kelas, dipandang sebagai orang yang pintar, tapi pas begitu masuk dunia perkuliahan kita justru merasa that we're just a tiny little human being within the others. 

Oh iya, dan di Unpad ada yang namanya matkul TPB (Tahap Pembelajaran Bersama), matkul yang isinya tentang Sustainable Development Goals - program dari PBB untuk memperbaiki dunia. Dari namanya aja udah keren banget, kan? Dan menurutku pribadi topik-topik yang ditawarkan juga sebetulnya menarik (sebetulnya - tapi implementasiannya masih kurang banget. Highly ineffective). Mengajak mahasiswanya untuk turut mewujudkan apa yang dicita-citakan PBB ini - yang mana ada sekitar 17, diataranya menjadikan dunia tanpa kemiskinan dan kelaparan, mempunyai pendidikan berkualitas, adanya kesetaraan gender, dan lain sebagainya. Dan yang enggak kalah 'seru' lagi, di matkul ini dibuat kelas besar yang isinya sekitar ratusan mahasiswa dari 16 fakultas yang ada di Unpad. Kebayang gimana tuh kuliahnya? 

Dan harus kuakui, ikut menjalani kuliah bersama ratusan mahasiswa dalam satu ruangan besar enggak menutup kemungkinan untuk membuatku lebih ciut lagi. Mereka yang aktif ikut diskusi tentang topik yang lagi dibahas dan cara mereka menyampaikan analisanya sudah cukup buat aku semakin minder, apalagi aku yang tipikalnya bukan orang yang suka ngomong di depan umum kecuali kalau disuruh nyanyi. Kalau disuruh menganalisa atau me-review sesuatu aku harus tulis dulu di kertas poin-poinnya, baru bisa menyampaikan. For me being spontaneous is still something hard to do. Untung-untung ada matkul public speaking di prodi aku, dan aku akan memanfaatkan matkul itu dengan sebaik-baiknya supaya aku mampu public speaking. At least bisa mengurangi rasa gugup aku buat ngomong di depan umum. 

Lah, terus masalahnya apa?

Yang mau kubicarakan disini adalah mengenai perasaan aku dan teman-temanku, sebagai mahasiswa baru, ketika merasa bahwa dirinya bukan siapa-siapa karena banyak yang lebih pintar dan kemampuan analisanya bagus ketika ditanya. 

I'll say it's fine. it's really fucking fine. 

Kamu belum satu semester jadi mahasiswa langsung ngambis banget untuk bisa seperti kating-kating kamu yang kemampuan akademik-non-akademiknya bagus? Atau teman-teman seangkatan kamu yang disangka lebih pintar dari kamu? 

Ketika kegiatan belajar berlangsung, dan kamu lihat ada teman kamu yang aktif di kelas dan membuat kamu berspekulasi bahwa dia pintar dari cara dia menyampaikan sesuatu. I say it's not a hundred percent true. Dia memang mungkin punya kecerdasan linguistik. And it shouldn't have made you thought that you are less smart than them. Kita enggak bisa menilai kepintaran dan kecerdasan orang dalam satu aspek saja. Pada dasarnya, semua orang itu cerdas. Hanya saja, kadarnya berbeda dan tipe kecerdasannya berbeda untuk setiap orangnya. Tahu 9 kecerdasan, kan? Seseorang itu bisa jadi kemampuan berbicaranya bagus, tapi kalau diuji kecerdasannya di bidang lain, belum tentu kadarnya sama dengan kemampuan bicaranya yang bisa kita kategorikan sebagai kecerdasan linguistik. Jangan menjadikan akademik sebagai tolak ukur kecerdasan seseorang.

Begitu masuk kuliah, aku ketemu banyaaaaak banget orang-orang hebat, tapi dengan catatan; orang-orang yang hebat non-akademis-nya, menurut pandanganku. Mungkin karena aku masuknya ke fakultas yang sifatnya enggak begitu cognitive-oriented kali ya. Maksudku adalah, berdasarkan yang aku amati selama satu semester, mahasiswa-mahasiswa di fakultasku lebih menonjol karena keterampilannya tinggi. Di Fikom banyak yang jago di bidang musik. Ada yang punya band yang udah sering tampil sana-sini, ada yang duo - satu nge-DJ satu lagi nge-rap, udah pada punya lagu ciptaan sendiri. Yang jago desain banyak. 

Enggak apa-apa. Simpan ambisi kamu dalam hati. Pelan-pelan kamu coba buktikan kalau kamu bisa lebih dari mereka. Public speaking mereka bagus, mungkin karena dulu mereka pernah ikut semacam organisasi, atau memang dari dulu sudah terlatih demikian. Kalau enggak punya pengalaman yang kusebutkan di atas, bukan berarti kita enggak bisa public speaking kan?

Setelah sekian lamanya aku berada di Jatinangor, dan menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, dan karena faktor lingkungan, lambat laun aku jadi ikut terlatih untuk bisa ber-public speaking. Hasilnya apa? Bisa! Asalkan kita ada kemauan, pasti bisa kok.


2021 holy shit a life update

 How long I haven't been signed in to this blog? I miss the time where I ranted some random stuff here and socialised with some of my bl...